

Oleh : Misbahul Khair
rodanewsindonesia – Sejak lama, karya fiksi sering menjadi cermin bagi ide-ide besar manusia. Komik dan anime tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga ruang untuk merenungkan tentang kekuasaan, penindasan, dan kerinduan akan kebebasan. Salah satu karya yang paling kaya dengan makna itu adalah One Piece. Di balik petualangan bajak laut mencari harta karun, tersimpan pesan filosofis tentang perjuangan manusia untuk merdeka dari belenggu tirani.
Anarkisme lahir dari kerinduan manusia untuk hidup tanpa rantai. Ia bukan sekadar menolak hukum, melainkan menolak kekuasaan yang menindas, merampas hak, dan membatasi pilihan. Dalam anarkisme, manusia diyakini mampu mengatur dirinya sendiri tanpa cambuk otoritas.
Gambaran ini terasa begitu dekat dengan dunia One Piece. Lautan luas bukan hanya jalur pelayaran, melainkan simbol ruang tak berbatas tempat setiap orang menentukan arah hidupnya. Kompas utama di sana bukan hukum negara atau titah penguasa, melainkan kebebasan.
Monkey D. Luffy adalah wajah anarkisme yang sederhana. Ia tidak mengejar tahta atau kuasa, hanya ingin bebas. Kru Topi Jerami pun bersatu bukan karena paksaan, melainkan pilihan. Persaudaraan mereka lahir dari saling percaya, bukan kontrak atau sumpah setia.
Sebaliknya, Pemerintah Dunia mewakili otoritas yang busuk. Mereka mengklaim menjaga keteraturan, tapi di baliknya menyembunyikan sejarah dan menindas yang berani melawan. Luffy dan krunya menjadi simbol penolakan: bahwa kebebasan bukanlah hadiah, tapi hak yang harus diperjuangkan.
Kisah One Piece berulang kali menegaskan hal ini. Di Enies Lobby, Luffy menolak Pemerintah Dunia menjadikan Robin alat kekuasaan. Di Wano, ia berdiri bersama rakyat yang tertindas Kaido. Di Dressrosa, ia melawan Doflamingo yang memperbudak manusia dengan benang kekuasaan. Semua itu adalah teriakan bahwa hidup tidak boleh dikendalikan tiran.
Gagasan para pemikir anarkis memberi lensa untuk memahami cerita ini. Bakunin menekankan kebebasan kolektif, Kropotkin menyoroti tolong-menolong, dan Emma Goldman menyebut anarkisme sebagai seni hidup bebas. Nilai-nilai ini tercermin dalam kru Topi Jerami.
Zoro hidup dengan janji pribadi, bukan perintah. Nami melawan perampasan Arlong. Usopp adalah suara rakyat kecil yang berani melawan. Sanji menolak tirani keluarganya dan memilih solidaritas dengan yang lapar. Chopper menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sarana penyembuhan, bukan komoditas. Robin melawan sensor atas sejarah. Franky mewakili kreativitas bebas, Brook menegaskan jiwa merdeka tak bisa dipenjara, sementara Jinbe berjuang melawan diskriminasi.
Maka, ketika anarkisme kerap dicap sebagai kekacauan, One Piece menunjukkan wajah sebaliknya: keberanian untuk hidup tanpa penindasan. Lautan yang luas bukanlah huru-hara, melainkan ruang pulang bagi jiwa yang merindukan kebebasan.
Pada akhirnya, kebebasan adalah pelayaran tanpa peta. Setiap manusia adalah nakhoda bagi dirinya sendiri, dan hanya keberanian yang mampu menuntun perahu kecil menembus badai. Dari lautan One Piece kita belajar, rantai takdir hanya bisa dipatahkan bila kita berani menolak tunduk.
Dan mungkin, dalam setiap jiwa yang mendambakan kebebasan, selalu ada sedikit Luffy: menolak diperintah, menolak dikekang, dan memilih terus berlayar. Sebab kebebasan, sebagaimana lautan, tak pernah benar-benar bertepi.
Membaca One Piece dengan kacamata anarkisme pada akhirnya bukan sekadar soal fiksi. Ia adalah pengingat bagi kita semua, bahwa di dunia nyata pun, kebebasan tidak datang dari izin penguasa—melainkan dari keberanian kita untuk menolak ditundukkan.
*Penulis merupakan Kader Angkatan Tua, Koalisi Perjuangan Pemuda Mahasiswa (KPPM)*
