Hari Tani: Dari Sawah Bangkit Perlawanan, Dari Petani Lahir Kehidupan

Author by rodanews | Post on September 25, 2025 | Category Nasional , Opini

Oleh : Misbahul Khair

rodanewsindonesia Hari Tani Nasional 24 September bukan sekadar tanggal di kalender, tapi alarm keras untuk bangsa ini. Tanpa petani, kita tidak makan. Tanpa petani, negeri ini rapuh. Ironisnya, para petani masih hidup dalam jerat kesulitan, sementara hasil keringat mereka dirampas oleh pihak lain yang hanya tahu duduk di kursi empuk.

Pemerintah seharusnya hadir, bukan absen. Hari ini akses lahan semakin sempit, pupuk langka, harga panen dipermainkan tengkulak. Media berkali-kali menyorot jeritan petani, tetapi solusi nyata masih nihil. Menurut Kementerian Pertanian, kebutuhan pupuk bersubsidi mencapai lebih dari 22 juta ton per tahun, sementara alokasi negara hanya sekitar 9 juta ton. Sisanya? Petani dipaksa gigit jari. Produksi menurun, kerugian tidak terhindarkan, dan beban hidup semakin berat.

Soekarno pernah mengingatkan, “Bangsa yang tidak mengindahkan nasib petaninya adalah bangsa yang menghancurkan sumber hidupnya sendiri.” Hari ini kata-kata itu menampar wajah kita semua. Petani terus mengalami alienasi—terpisah dari tanahnya, dipinggirkan dalam sistem ekonomi, dan dipaksa hidup miskin di negeri yang katanya subur.

Tan Malaka menulis, “Keadilan tidak akan pernah lahir dari penindasan.” Maka penggusuran, monopoli tanah, dan eksploitasi atas petani adalah pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa. Tanah bukan untuk diperdagangkan semata, melainkan untuk mereka yang menggarapnya. Menolak penindasan berarti berpihak pada kehidupan.

Pramoedya Ananta Toer juga menohok, “Orang kecil dibiarkan tetap kecil agar bisa diinjak-injak.” Hari ini, gambaran itu nyata di sawah-sawah kita. Mereka yang seharusnya dijaga justru terus ditindas. Dari desa, api perlawanan harus menyala.

Seperti kata Che Guevara, “Revolusi hanya akan hidup jika ia menyalakan api di pedesaan.” Perjuangan kemerdekaan pangan tidak bisa lahir dari gedung-gedung tinggi, tapi dari lumpur sawah, dari tangan petani, dari solidaritas pemuda. Begitu pula José Martí, pejuang Kuba, berkata, “Tanpa tanah, manusia hanyalah bayangan yang kehilangan tempat berpijak.” Petani tanpa tanah sama artinya bangsa tanpa masa depan.

KH. Hasyim Asy’ari pernah menegaskan, “Tanah adalah amanah Allah, siapa yang menguasainya wajib menegakkan keadilan atasnya.” Begitu juga Buya Hamka menulis, “Orang yang bekerja di sawah dan ladang adalah orang yang dekat dengan rahmat Allah.” Membela petani berarti menjalankan amanah, menjalankan ibadah, dan menjaga kehidupan.

Pemuda tidak boleh diam. Pemuda tidak boleh malu jadi petani. Justru bertani adalah jalan mulia, jalan keberanian, jalan perlawanan. Data Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2023 Indonesia masih mengimpor lebih dari 3 juta ton beras dan ratusan ribu ton kedelai serta jagung. Bayangkan, tanah kita luas, subur, tapi nasib pangan masih ditentukan oleh kapal impor. Ini pengkhianatan terhadap kemerdekaan bangsa.

Hari ini kita harus tegaskan: sudah cukup anggapan bahwa petani profesi rendah. Petani adalah pahlawan sejati. Jika pemuda berani masuk ke sawah, ladang, dan kebun dengan semangat baru, pertanian bisa melesat lewat teknologi dan inovasi. Inilah kolaborasi: pengalaman generasi tua berpadu dengan kreativitas generasi muda.

Hari Tani bukan hanya peringatan, tapi medan perlawanan. Setiap jengkal tanah yang dirampas dari petani adalah perampasan hak hidup. Setiap pupuk yang ditahan dari petani adalah pengkhianatan pada bangsa.

*Penulis Merupakan Kader Angkatan Tua, Koalisi Perjuangan Pemuda Mahasiswa (KPPM)*

RELATED POSTS