RUU Perampasan Aset: Antara Keadilan, Kekuasaan, dan Moral Publik

Author by rodanews | Post on Oktober 18, 2025 | Category Hukum , Nasional , Opini

Oleh : Misbahul Khair 


rodanewsindonesia
Setiap kali pembahasan RUU Perampasan Aset kembali tertunda, publik seolah diingatkan betapa rumitnya menegakkan keadilan di negeri yang masih dilingkupi kepentingan politik. Hukum, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, sering kali terjebak dalam tarik-menarik kekuasaan dan kepentingan elite.

Hingga kini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset belum juga disahkan, meski sudah berulang kali masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Padahal, urgensi pembentukannya sudah lama disadari: negara membutuhkan payung hukum yang kuat untuk merampas aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu proses pidana selesai. Kejahatan korupsi, pencucian uang, dan penyelundupan aset kerap sulit dijerat karena pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau karena pembuktiannya berlarut.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, secara terbuka menyebut bahwa hambatan terbesar justru datang dari kepentingan politik. “RUU ini sebenarnya sudah siap sejak lama. Tapi ada yang takut, karena kalau undang-undang ini disahkan, banyak aset haram yang bisa langsung disita negara tanpa perlu menunggu pelaku dijatuhi pidana,” ujarnya. Ucapan itu menggambarkan bahwa ada kekuatan yang menolak pengesahan RUU ini karena khawatir kepentingannya terganggu.

Dalam pandangan Mahfud, penundaan ini bukan masalah teknis, melainkan kemauan politik. “Naskah akademik sudah ada, draft sudah diperbaiki berkali-kali. Tapi kalau kepentingan politik tidak sejalan, ya tidak akan jalan. Padahal ini undang-undang yang berpihak pada rakyat dan negara, bukan pada koruptor,” tegasnya. RUU ini sejatinya menjadi alat penting untuk menutup celah kejahatan ekonomi yang selama ini sulit disentuh hukum.

Mahfud juga menyoroti hilangnya potensi pemulihan aset negara akibat lambannya proses ini. Banyak kasus di mana pelaku kejahatan sudah kabur ke luar negeri atau meninggal dunia, namun aset hasil kejahatannya tetap beredar dan dinikmati. “Sementara negara tidak bisa berbuat banyak karena dasar hukumnya belum ada. Padahal aset itu milik publik yang seharusnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat,” katanya. Situasi ini memperlihatkan betapa lemahnya sistem hukum kita ketika berhadapan dengan kejahatan yang bersifat sistemik dan berdimensi finansial tinggi.

Selain sebagai kebutuhan hukum nasional, Mahfud menilai RUU Perampasan Aset juga merupakan bentuk komitmen Indonesia terhadap Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). “Negara lain sudah punya mekanisme perampasan aset tanpa menunggu pidana, kita justru masih berdebat. Kalau dibiarkan, Indonesia bisa jadi tempat aman bagi pencuci uang dan pelaku korupsi lintas negara,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa keterlambatan bukan hanya soal hukum, tetapi juga reputasi bangsa di mata dunia.

Mahfud menegaskan, RUU ini tidak mengancam masyarakat jujur. “Yang takut hanya orang yang kekayaannya tidak bisa dijelaskan asalnya. RUU ini tetap harus melalui pembuktian di pengadilan, bukan asal rampas,” katanya. Prinsip due process of law tetap dijaga agar tidak menimbulkan penyalahgunaan wewenang. RUU ini justru akan memperkuat keadilan, karena aset yang diambil benar-benar melalui mekanisme hukum yang transparan dan dapat diuji di pengadilan.

Namun, Mahfud mengingatkan bahwa penundaan pengesahan membawa dampak sosial yang serius. “Setiap hari negara kehilangan potensi triliunan rupiah karena aset hasil kejahatan tidak bisa disita. Masyarakat terus menanggung beban, sementara pelaku hidup bebas menikmati hasil kejahatannya. Ini bukan hanya kerugian ekonomi, tapi luka moral bagi bangsa,” katanya. Selama hukum belum mampu mengambil kembali hak publik, rasa keadilan akan terus terkikis.

Tanpa UU ini, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan semakin leluasa menyembunyikan hasil kejahatan mereka. Koruptor bisa tetap kaya, pencuci uang bisa beroperasi dengan tenang, dan rakyat kecil yang taat hukum justru menjadi korban. RUU ini semestinya dilihat bukan sekadar sebagai instrumen hukum, tetapi sebagai simbol keberpihakan negara kepada keadilan dan integritas.

Menurut saya pribadi, RUU Perampasan Aset adalah kebutuhan mendesak yang tidak boleh terus ditunda. Di tengah maraknya kejahatan ekonomi dan korupsi, negara harus punya kekuatan hukum untuk mengambil kembali kekayaan publik yang dicuri. Tanpa regulasi ini, hukum akan selalu kalah cepat dibanding kejahatan yang terorganisir dan canggih. RUU ini adalah wujud konkret dari keadilan sosial — bukan sekadar menghukum pelaku, tapi mengembalikan hak rakyat.

Sebagaimana pernah dikatakan Karl Marx, “Keadilan tidak akan pernah tegak dalam masyarakat yang membiarkan akumulasi kekayaan hasil penindasan.” Pernyataan ini relevan bagi Indonesia hari ini. Jika aset hasil kejahatan dibiarkan beredar di tangan segelintir orang, maka hukum telah gagal menjalankan fungsi moralnya. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai pengawas, tetapi sebagai pelindung moral ekonomi rakyatnya.

Émile Durkheim menegaskan bahwa hukum adalah “cermin moralitas kolektif masyarakat.” Bila hukum tidak lagi mampu menegakkan nilai moral bersama, masyarakat akan kehilangan solidaritasnya. Dalam konteks RUU Perampasan Aset, penundaan ini tidak hanya persoalan hukum, tetapi juga krisis moral sosial — di mana masyarakat menyaksikan ketimpangan, tetapi tidak memiliki instrumen untuk memulihkannya.

Auguste Comte, bapak sosiologi modern, pernah menyatakan bahwa masyarakat akan maju jika institusi hukumnya mampu menjadi fondasi keteraturan sosial. Tanpa hukum yang kuat dan adaptif, tatanan sosial akan goyah. Pandangan ini mengingatkan kita bahwa keterlambatan pengesahan RUU Perampasan Aset bukan sekadar kekosongan hukum, melainkan kemunduran peradaban dalam membangun keteraturan sosial yang adil.

Michel Foucault melihat kekuasaan dan hukum sebagai dua sisi dari kontrol sosial. Dalam karyanya, Foucault menegaskan bahwa hukum sering kali dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi kekuasaan. Bila hukum tidak berpihak pada rakyat, ia berubah menjadi instrumen penundukan. Penundaan RUU ini bisa dibaca sebagai bentuk resistensi elit terhadap transparansi dan keadilan — di mana hukum justru dibekukan untuk melindungi kepentingan tertentu.

Pemikir besar Islam, Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya menulis bahwa keadilan adalah syarat utama keberlangsungan suatu negara. “Kezaliman menghancurkan peradaban,” tulisnya. Ia menekankan bahwa ketika para penguasa lebih melindungi kekayaan pribadi dibanding kepentingan rakyat, maka tanda-tanda kehancuran moral dan sosial telah dimulai. Pandangan ini sangat relevan untuk menggambarkan situasi hukum kita yang kehilangan keberpihakan kepada keadilan substantif.

Sementara itu, Max Weber mengingatkan bahwa legitimasi hukum hanya akan hidup bila sistem hukum dijalankan secara rasional dan dapat dipercaya. Ketika hukum kehilangan kemampuan untuk menegakkan keadilan substantif, maka kepercayaan publik pun hilang. Karena itu, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara dan hukum itu sendiri.

Pada akhirnya, penundaan pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi di Indonesia belum menyentuh akar strukturalnya. Kita butuh keberanian politik, integritas, dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat. Jika undang-undang ini terus ditunda, bukan hanya uang negara yang hilang, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan keadilan — sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar angka dalam neraca keuangan negara.

RELATED POSTS